JAKARTA – Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta, mengungkapkan kegetirannya saat menyampaikan pleidoi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Dalam pembelaannya, Suparta menegaskan bahwa niatnya untuk membantu PT Timah Tbk, sebuah perusahaan pelat merah, justru membawanya ke jeruji besi dengan tuntutan hukuman 14 tahun penjara. Kamis (19/12/2024).

Suparta bersama terdakwa lainnya dituduh terlibat dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Suparta telah melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Niat Membantu Berujung Malapetaka
Dalam sidang Rabu (18/12/2024), Suparta menyatakan bahwa dirinya sebenarnya enggan menjalin kerjasama dengan PT Timah. Namun, ia akhirnya setuju untuk menyewakan fasilitas smelter milik PT RBT guna mendukung peningkatan produktivitas bijih timah oleh PT Timah.
“Sejujurnya, saya malas untuk membantu. Bisnis yang saya jalani sudah nyaman, tenteram, dan tidak ada ambisi lagi,” ungkap Suparta dari kursi terdakwa.
Suparta juga mengungkapkan bahwa dirinya sadar akan risiko besar dalam bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu kekhawatirannya adalah pembayaran yang sering kali terlambat.

Hal ini terbukti saat pembayaran dari PT Timah melebihi tenggat waktu yang disepakati, menyebabkan terganggunya arus kas PT RBT dan menunda pembayaran utang ke bank.
“Alasan keterlambatan karena cashflow PT Timah terganggu. Akibatnya, kami juga mengalami kerugian besar dalam ekspor,” tambahnya.
Namun, yang paling berat dirasakan Suparta adalah dakwaan korupsi yang kini menjeratnya. Ia merasa niat baiknya untuk membantu negara justru berakhir dengan kriminalisasi.

Tuntutan Berat untuk Suparta dan Reza
Dalam persidangan, JPU menuntut Suparta dengan hukuman 14 tahun penjara serta denda Rp1 miliar. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka akan digantikan dengan kurungan selama satu tahun.
Selain itu, Suparta juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp4,57 triliun. Apabila uang pengganti ini tidak dapat dipenuhi dalam waktu satu bulan setelah putusan inkrah, maka harta benda Suparta akan disita untuk dilelang. Jika hasil lelang masih belum mencukupi, hukuman penjara tambahan selama delapan tahun akan dijatuhkan.
“Terdakwa Suparta terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang merugikan negara dalam jumlah besar,” ujar JPU dalam tuntutannya.
Selain Suparta, Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah, juga dijatuhi tuntutan hukuman penjara selama delapan tahun. Reza dikenakan denda sebesar Rp750 juta dengan subsider enam bulan kurungan jika denda tidak dibayar.
Namun, berbeda dengan Suparta, Reza tidak dikenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

Barang Bukti dan Proses Investigasi
Jaksa menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari temuan uang palsu senilai Rp500 juta yang kemudian berkembang hingga mencapai total nilai kerugian negara sebesar Rp446,7 miliar. Uang-uang tersebut diduga terkait dengan pengelolaan smelter oleh PT RBT dalam kerjasama dengan PT Timah.
Proses investigasi juga mengungkap adanya penggunaan mesin cetak raksasa untuk memproduksi uang palsu. Mesin ini ditemukan di fasilitas smelter milik PT RBT, dan penyidik masih mendalami spesifikasi serta perannya dalam tindak pidana yang didakwakan. Investigasi dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan laboratorium forensik, Bank Indonesia, serta pihak perbankan lainnya.
Kejatuhan BUMN dan Dampaknya
Kasus ini tidak hanya menyeret Suparta dan Reza, tetapi juga memperlihatkan kelemahan tata kelola BUMN seperti PT Timah.
Dugaan korupsi ini mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan perusahaan pelat merah, khususnya dalam menjaga integritas dan akuntabilitas dalam bisnis yang melibatkan mitra swasta.
Suparta dalam pleidoinya menegaskan bahwa dirinya adalah korban dari sistem yang tidak transparan. Ia meminta Majelis Hakim untuk mempertimbangkan fakta-fakta yang ada sebelum memutuskan vonis.

Penantian Vonis
Sidang kasus ini masih berlanjut dengan agenda pembacaan vonis yang dijadwalkan dalam waktu dekat. Suparta berharap pleidoinya dapat menjadi pertimbangan hakim untuk memberikan putusan yang adil.
“Saya percaya pada keadilan hukum. Saya berharap Majelis Hakim dapat melihat kasus ini secara objektif,” pungkas Suparta.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi BUMN dan mitra swasta untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap bentuk kerjasama.
Di sisi lain, masyarakat luas menantikan bagaimana keadilan akan ditegakkan dalam skandal korupsi yang melibatkan nilai triliunan rupiah ini. (Redaksi)

By a w

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *