Jakarta(Beradoknews.Com), – Kejaksaan Agung melalui Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) secara resmi menetapkan lima korporasi sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Periode 2015-2022. Jumat (3/1/2025).
Penetapan ini merupakan langkah tegas Kejaksaan Agung dalam membongkar praktik korupsi yang telah merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.
Kelima korporasi tersebut adalah:
1. PT Refined Bangka Tin (PT RBT)
2. PT Stanindo Inti Perkasa (PT SIP)
3. PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN)
4. PT Sariwiguna Binasentosa (PT SBS)
5. CV Venus Inti Perkasa (CV VIP)
Penetapan tersangka terhadap kelima korporasi ini didasarkan pada sejumlah surat perintah penyidikan dan penetapan tersangka yang diterbitkan pada 31 Desember 2024.
Dengan penambahan lima korporasi ini, jumlah total tersangka dalam kasus ini mencapai 22 orang, termasuk satu tersangka dalam perkara obstruction of justice.
Modus Operandi: Legalisasi Timah Ilegal dalam IUP PT Timah
Kasus ini bermula dari penerbitan Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) secara tidak sah oleh Sdr. Suranto Wibowo, Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2015. RKAB tersebut kemudian dilanjutkan oleh Plt. Kepala Dinas ESDM, Sdr. Rusbani (2019), dan Sdr. Amir Syahbana (2019-2022).
RKAB yang diterbitkan digunakan untuk melegalkan hasil tambang timah ilegal dari wilayah IUP PT Timah. Dalam skema ini, jajaran direksi PT Timah, termasuk Direktur Utama Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra, diduga bersekongkol dengan pemilik smelter swasta.
Mereka menyamarkan aktivitas ilegal tersebut sebagai kerja sama sewa-menyewa peralatan peleburan timah.
Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkap kerugian negara sebesar Rp300 triliun lebih, yang terdiri dari:
1. Kerugian atas kerja sama alat peleburan timah: Rp2,28 triliun.
2. Pembayaran bijih timah ilegal kepada mitra tambang: Rp26,64 triliun.
3. Kerugian lingkungan akibat kerusakan ekosistem: Rp271,06 triliun.
Kerugian Lingkungan dan Dampak Sistemik
Kerusakan lingkungan menjadi salah satu dampak paling serius dalam kasus ini. Pengambilan timah secara ilegal di wilayah IUP PT Timah telah merusak ekosistem secara masif, dengan tanggung jawab pemulihan sepenuhnya dibebankan pada PT Timah.
Kerusakan ini tidak hanya merugikan ekonomi negara tetapi juga mengancam keberlanjutan lingkungan di wilayah Bangka Belitung.
Para ahli lingkungan yang dilibatkan menyatakan bahwa kerusakan ini membutuhkan pemulihan jangka panjang dan dana yang sangat besar.
Selain itu, reputasi PT Timah sebagai salah satu perusahaan tambang timah terbesar di dunia juga terancam oleh skandal ini.
Barang Bukti dan Alat Bukti
Kejaksaan telah mengumpulkan sejumlah barang bukti dan alat bukti, termasuk:
• Dokumen: Sebanyak 2.529 dokumen terkait transaksi dan operasional.
• Barang bukti elektronik: Sebanyak 212 unit.
• Properti: 5 smelter, dua unit ruko, dan tanah seluas 1.400 hektar.
• Uang tunai: Total uang yang disita dalam berbagai mata uang mencapai miliaran rupiah, termasuk USD 3,5 juta, SGD 2,9 juta, dan JPY 53 juta.
Langkah Kejaksaan: Membangun Bukti Kuat
Kejaksaan Agung telah memeriksa 173 saksi dari berbagai elemen, termasuk karyawan PT Timah, mitra tambang, pejabat ESDM, hingga pihak perbankan.
Selain itu, 13 ahli dari berbagai bidang turut dilibatkan untuk memperkuat kasus ini, termasuk ahli keuangan negara, hukum pidana, lingkungan, hingga digital forensik.
Dengan semua alat bukti yang dikumpulkan, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Arah Penegakan Hukum ke Depan
Kasus ini menjadi sorotan nasional, mengingat skala kerugian yang luar biasa besar dan dampak sistemiknya.
Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini hingga tuntas, termasuk mengejar pihak-pihak lain yang terlibat, baik dari sektor swasta maupun pemerintah.
Penegakan hukum yang tegas diharapkan tidak hanya memberi efek jera tetapi juga memperbaiki tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
Kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara. (Sumber : Kapuspenkum Kejagung RI, Editor :KBO Babel)