BANGKA – Aktivitas tambang timah ilegal di kawasan Hutan Mangrove Sungai Rumpak, Belinyu Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung semakin tak terkendali. Meski pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bubus Panca telah memasang spanduk larangan di area tersebut, ratusan ponton isap tetap bebas beroperasi, menghancurkan ekosistem mangrove dan mengancam mata pencaharian nelayan setempat, disinyalir beraktivitas penambangan ilegal tersebut ada oknum Aparat Penegah Hukum (APH) dan Alat negara berseragam. Kamis (19/12/2024).
Nelayan kecil, seperti Ali dan Eko Sanjaya, mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi ini. “Dulu mangrove di Sungai Rumpak sangat subur. Kepiting, udang, dan ikan melimpah. Namun, sejak tambang timah ilegal beroperasi, semua habis. Kami bingung mencari nafkah untuk keluarga,” kata Ali dan Eko dengan nada lirih.
Sekretaris Perkumpulan Nelayan Kecil itu pun mendesak Kapolda Kepulauan Bangka Belitung segera mengambil tindakan tegas untuk menghentikan aktivitas penambangan ilegal yang kini melibatkan sekitar 300 unit ponton.
Kerusakan Lingkungan dan Pelanggaran Hukum Hutan mangrove adalah ekosistem penting yang dilindungi oleh undang-undang. Sesuai Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang merusak hutan tanpa izin yang sah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (2), yaitu hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Lebih lanjut, aktivitas tambang ilegal juga melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Pasal 158 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin (IUP, IUPK, atau IPR) diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Tidak hanya itu, tindakan para cukong yang menjadi penadah hasil tambang ilegal juga masuk dalam kategori tindak pidana penadahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukuman bagi penadah adalah pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda.
Indikasi Keterlibatan Oknum Menurut sumber terpercaya, aktivitas tambang ilegal di Sungai Rumpak diduga melibatkan seorang oknum Kepala Dusun Tanjung Batu, yang berinisial Is, bersama beberapa koordinator lapangan.
Lebih memprihatinkan lagi, ada indikasi oknum aparat berseragam yang turut membekingi aktivitas tersebut. Mereka diduga menerima “dana koordinasi” dengan dalih untuk kegiatan komando. Selain itu, terdapat laporan bahwa bahan bakar minyak (BBM) ilegal juga dipasok secara terorganisir untuk mendukung operasional ponton-ponton tambang.
Wakil Pimpinan Umum media BeradokNews.com, Ari Wibowo, berencana melaporkan temuan ini langsung kepada Menkopolhukam, Panglima TNI, dan Kapolri.
“Saya akan menyerahkan laporan lengkap terkait keterlibatan oknum aparat, pemasok BBM ilegal, dan lainnya. Sudah cukup rakyat kecil menderita sementara oknum-oknum tertentu menikmati hasil tambang ilegal ini,” tegas Ari.
Dampak Sosial dan Ekonomi Kerusakan hutan mangrove tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga menghantam perekonomian nelayan. Mangrove merupakan habitat penting bagi kepiting, udang, dan ikan, yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat pesisir.
Dengan rusaknya kawasan ini, banyak nelayan kehilangan mata pencaharian. Ali dan Eko menggambarkan kondisi nelayan kecil yang kini semakin terpuruk, “Kami tidak tahu lagi ke mana harus mencari nafkah.”
Tuntutan Penegakan Hukum Masyarakat mendesak Kapolda Kepulauan Bangka Belitung untuk segera bertindak tegas terhadap aktivitas tambang ilegal di kawasan Hutan Mangrove Sungai Rumpak.
Penegakan hukum yang tegas tidak hanya menghentikan perusakan lingkungan, tetapi juga memberi efek jera bagi para pelaku dan cukong yang terlibat.
Langkah ini harus mencakup penangkapan para pelaku di lapangan, investigasi menyeluruh terhadap oknum yang terlibat, dan penegakan hukum sesuai peraturan yang berlaku.
Selain itu, pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan mangrove yang rusak. Program rehabilitasi dan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan harus menjadi prioritas untuk memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat sekitar. (Redaksi)